(Indahnya Rawa Pening) |
Pada liburan ini, seminggu di rumah rasanya belum
cukup menghilangkan rasa kangenku pada rumah dan kampung halamanku, Sumowono,
sebuah kota kecil di bawah kaki Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Berbagai aktivitas
yang bernuansa santai dan hiburan seperti mencoba menu masakan baru,
melihat-lihat kebun serta sawah, mengunjungi tempat-tempat kuliner atau hanya
sekedar bersantai ria di depan televisi telah aku lakukan. Tinggal satu lagi
yang belum : memancing di Rawa Pening.
Aku memang hobi memancing meskipun tidak dapat
dikatakan ahli. Akhirnya aku pun menghubungi temenku serta adik dan saudara
kerabatku yang tinggal satu RT. Janji pun dibuat, dan besok pagi kami sepakat akan
pergi memancing ke Rawa Pening, salah satu tempat wisata Semarang.
Pukul 9 pagi kami berempat berangkat menuju lokasi
pemancingan yang melegenda itu dengan mengendarai 2 sepeda motor. Dengan
berbekal keyakinan akan dapat banyak ikan, kami susuri jalanan beraspal sambil
sesekali membayangkan hasil tangkapan ikan yang akan dibawa pulang. Dengan jarak
dari rumah (Sumowono) ke lokasi pemancingan yang tak kurang dari 20 km, kami
berkendara melewati titik-titik wisata lainnya seperti Bandungan, Ambarawa,
kemudian baru Rawa Pening.
Sesampainya di sana yang terlihat pertama kali
adalah hamparan air yang tenang dan sebagiannya dipenuhi hijaunya tanaman enceng
gondok. Tanaman yang bisa tumbuh dengan cepat ini oleh warga sekitar memang
sengaja dibudidayakan untuk aneka produk keterampilan yang bernilai jual
tinggi. Di beberapa titik, para pemancing lain juga sudah mulai menempatkan
diri dengan keterampilan dan gayanya masing-masing.
Langit yang cerah seakan merestui perburuan ikan
pagi itu. Kami memilih posisi memancing agak ke tengah sehingga harus menceburkan
diri ke air. Pada jarak ini airnya tidak begitu dalam, sekitar setinggi lutut
orang dewasa. Namun di beberapa titik ada yang cukup dalam sehingga kalau tidak
berhati-hati bisa membuat pakaian basah semua. Kami berhenti di sekitar 50
meter dari tepi dan mulailah memancing sambil berdiri dengan gaya masing-masing.
Sebenarnya kalau tidak mau capek-capek berdiri di tengah rawa, bisa saja dengan
menyewa perahu dayung milik warga sekitar. Dengan cukup ngasih uang sekitar 10
ribu, kita sudah dapat duduk manis seharian di atas perahu sambil menunggu umpan
di makan.
Hampir satu jam berlalu tanpa satu ikan pun
memakan umpan. Salah satu temanku sudah mulai mengeluhkan panas dan pegal-pegal
karena terlalu lama berdiri . Tapi alhasil, sesaat kemudian strike demi strike
terasa di gagang pancing. Semangat pun kembali. Satu, dua dan beberapa ikan pun
mulai nyantol di mata kail mulai dari yang kecil-kecil hingga yang hampir
sebesar telapak tangan. Setidaknya ada 2 jenis ikan yang kami tangkap yakni
ikan mujahir dan sepat. Sebenarnya masih
banyak jenis ikan lain seperti ikan gabus, lele dan nila. Hanya saja ikan-ikan
itu tidak mudah untuk dipancing entah karena memang sulit atau karena jumlah
ekosistemnya yang tak banyak. Untuk memancing di sana, gagang pancingnya harus
panjang (di atas 3 meter) agar umpan yang dilempar cukup jauh dari kaki,
sehingga ikan tidak takut mendekat.
Menjelang sore hari kami memutuskan untuk pulang,
dengan jumlah tangkapan ikan mujahir dan ikan sepat yang tak sampai 2 kilo. Tapi
tak mengapa, yang penting perasaan sudah cukup puas dan terhibur.
baca juga :
No comments:
Post a Comment